Pondok Pesantren ALMATERA (Al-Mumin Muhammadiyah Tembarak)

KENANGAN ABADI

Sejuknya angin malam menusuk kulitku. Kurapatkan jaket yang kupakai untuk mengahalau udara dingin. Malam itu penuh dengan bintang yang menghiasi setiap penjuru langit. Bulan bersinar dengan terang manjadi pelengkapnya. Pikiranku melayang pada kenangan beberapa bulan yang lalu. Masa – masa awal persiapanku dan teman – temanku menghadapi soal – soal ujian.

“Sa ! Ayo berangkat !” panggil temanku. Aku sedang menata jilbabku bergegas meraih tas ranselku dan mengambil sepatuku di rak. Dengan kecepatan kilat, aku dan dua temanku berangkat ke Madrasah. Sayangnya, kita tetap terlambat.

“Muroja’ah surah Asy – Syams ukhti..” ucap adik kelas kami yang bertugas menjadi petugas jaga telat. Setelah muroja’ah, aku dan temanku masuk ke kelas masing – masing. Aku dan kedua temanku itu memang berbeda kelas. Tapi perbedaan itu tidak menghalangi kami untuk berteman.

Pelajaran pertama besok adalah Fiqih. Ustadzahku memberikan informasi materi untuk ujian praktik memandikan dan mengkafani jenazah. Mengalirlah diskusi seputar materi itu setelah kita membaca materinya. Sebenarnya selalu seru jika sedang membahas pelajaran agama dan kepondokan, namun karena jam pelajarannya di jam pertama atau terakhir…kami jadi mengantuk.

“Heh Sa ! ngalamunin apa anti ?” suara Qila yang menegurku, membuatku tersadar dari kilas balik ingatanku.

“Cuman keinget kenangan – kenangan kita selama mondok di ALMATERA” ucapku.

Qila mengambil tempat disampingku. Dia membawa secangkir teh hangat dan semangkuk mie pedas yang masih mengepulkan asapnya.

“Lagi bikin apa Sa ?” tanya Qila sembari menunjukkan buku tulisku yang terbuka. Tinta hitmanya yang baru saja ku torehkan masih basah.

“Biasa dong, cerpen” jawabku.

“Wuidihhh… besok mau wisuda aja masih bikin cerpen”. Qila merebut buku dihadapanku. Sebagai gantinya, dia menyodorkan semangkuk mie pedasnya. Aku melemaskan ototku. Berkulat dengan buku tulis dan pena selama tiga jam membuatku ingin mengistirahatkan otak dan tubuhku.

“Nggak nyangka ya kita udah mau berpisah aja” ujarku tak sadar. Qila melihat ke arahku. Dia meletakkan buku yang dibacanya.

“Bukan kita yang berpisah, tapi anti yang pergi. Kalau anti lanjut di sini, kita masih bisa bareng – bareng” ucapan Qila membangkitkan kembali kilas balik ingatanku. Saat kami bermain hujan sepulang sekolah.

Sore itu, selepas pelajaran terakhir, ribuan bulir air jatuh ke bumi. Hari Ahad, hari terakhir kami memakai seragam pondok berwarna hijau. Kami memutuskan untuk bermain hujan – hujanan.

“Woii ! Yang ulangtahun di ceburin ke kolam yuk..!” sorakan antusias dari temanku membuat atmosfer keceriaan semakin terasa. Sebagian mengejar mereka yang ulangtahun pada bulan itu. Sebagian lagi berteduh sembari menonton kami bermain hujan. Sementara mereka yang ulangtahun, harus menerima dengan lapang dada untuk diceburkan ke dalam kolam. Menjelang Ashar, hujan mereda. Seragam kami basah kuyup dan kami tidak boleh masuk asrama. Tapi kami sama – sama menikmatinya. Salah satu temanku iseng berceletuk,

“Nikmatin aja masa – masa terakhir kita bersama. Besok kalau sudah wisuda nggak akan bisa kayak gini lagi”.

“Tuh, kan.. anti ngelamun lagi.” tegur Qila dan lagi – lagi aku tersadar dari kilas balik itu.

“Mau jajan gak ?” tanya Zila yang tiba – tiba datang dan membawa makanan ringan di tangannya. Aku dan Qila kompak menjawab “Mau”.

“Qil, Sa, besok kan kita wisuda nih. Kata – kata terakhir dong” ucap Zila

“Besok kita wisuda. Habis itu liburan, setelah liburan kita balik lagi ke sekolah. Sibuk sama sekolah baru, guru baru, suasana baru, dan teman baru.” ucap Zila. “Ana Cuma pengen bilang…sebanyak apapun teman baru kita, sejauh apapun jarak yang memisahkan kita, jangan pernah lupakan orang – orang yang pernah nemenin kita dimasa terpuruknya kita”

“Kalau kita nggak bisa ketemu dan kumpul lagi di dunia, semoga Allah mempertemukan kita di surgaNya” ucapku yang dijawab “Aamiin” oleh Zila dan Qila.

“Dan jangan lupakan ALMATERA, tempat dimana kita berjuang bersama – sama, jalani semua bareng – bareng, belajar bareng, dan banyak waktu yang sudah kita lalui bersama disini. Banyak kenangan yang sudah kita buat bersama. Di ALMATERA. walau kita berbeda, kita tetap bersama.” ucap Qila

Keesokan harinya

Detak jantungku berdegup kencang. Tanganku berkeringat, toga yang kupakai di tubuhku serasa memberatkan langkahku. Namun, aku harus tetap melangkah maju, menaiki podium, dan mengambil gulungan kertas dengan keterangan “LULUS”

Aku merasa menjadi manusia yang paling bahagia di dunia. Tapi jalanku masih panjang kedepan, masih banyak kenangan yang akan kubuat dengan orang – orang baru, tempat baru dan suasana yang baru. Terimakasih ALMATERA telah menjadi tempatku bernaung, untuk semua kenangan yang akan menjadi abadi.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *